Beranda | Artikel
Fenomena Pelecehan Terhadap Nabi
Jumat, 26 Februari 2010

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.

Sadar atau pun tidak, banyak yang tidak menyadari bahwa hal-hal yang akan kami sebutkan nanti adalah di antara bentuk pelecehan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bentuk pelecehan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mesti dengan mencela dan mencaci maki beliau. Ini jelas haramnya. Namun hal-hal ini juga termasuk dalam kategori mencela dan melecehkan Nabi. Semoga kita dijauhi dari hal semacam ini. Hanya Allah yang beri taufik.

Pertama: Jauh dari Sunnah (Ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik lahir maupun batin

Jauh dari sunnah secara batin yaitu dengan berubahnya suatu peribadatan menjadi adat (kebiasaan), lalai untuk meraih pahala dari Allah, atau tidak mengikuti, mengagungkan, dan mencintai dengan hati yang ikhlas kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melupakan sunnah-sunnah dan tidak mempelajari atau membahasnya, tidak menghormati sunnah, dan meremehkannya secara batin.

Sedangkan jauh dari sunnah secara zhohir (lahir) adalah dengan meninggalkan amalan sunnah yang zhohir baik yang wajib atau mustahab (dianjurkan). Sebagai contoh adalah sunnah i’tiqod (keyakinan), menjauhi bid’ah dan pelakunya bahkan mengucilkan mereka. Atau sunnah mu’akkad seperti sunnah makan, berpakaian, shalat rawatib, witir, dua raka’at Dhuha, sunnah manasik dalam haji dan umroh, sunnah yang berkaitan dengan shaum (puasa) dalam waktu dan tempat. Sunnah-sunnah seperti ini pada sebagian manusia hanya sebagai sampingan saja –kita memohon pada Allah agar dijauhkan dari bentuk pelecahan semacam ini-.

Demi Allah, hati seorang hamba tidak akan lurus sehingga dia mengagungkan, memelihara, dan mengamalkan sunnah. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

Barangsiapa membenci sunnahku, maka ia bukan golonganku.”[1]

Perhatikanlah perkataan Ubay bin Ka’ab berikut ini,

”Berpegang teguhlah pada sunnah (ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Tidaklah seorang hamba berada di atas sunnah dalam keadaan mengingat Allah, lalu kulitnya merinding karena rasa takut kepada-Nya, melainkan dosa-dosanya akan berguguran sebagaimana daun kering berguguran dari pohonnya.

Dan tidaklah seorang hamba berada di atas sunnah (ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) sedang mengingat Allah dalam keadaan bersendirian, lalu kedua matanya meneteskan air mata karena takut kepada-Nya, melainkan api neraka tidak akan menjamahnya selamanya.

Mencukupkan diri dengan sunnah itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam bid’ah (perkara yang tanpa tuntunan). Oleh karena itu, berusahalah agar amalan kalian, baik yang ringan maupun yang berat, berdasarkan manhaj dan sunnah para nabi.”[2]

Kedua: Menolak hadits-hadits shohih

Di antara bentuk pelecehan terhadap Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah menolak sebagian hadits shahih yang sah dengan hujjah (argumen) yang lemah seperti menyelisihi akal, tidak sejalan dengan realita, tidak mungkin bisa diamalkan, enggan menerima hadits, men-ta’wil (menyelewengkan maknanya) [3] nash-nash untuk maksud itu, menolak hadits shohih dengan anggapan bahwa hadits tersebut adalah ahad[4] -padahal sebagian besar hukum syar’i berasal dari hadits ahad[5]-, atau mengklaim beramal dengan al-Qur’an saja dan meninggalkan selain itu.

Perhatikanlah sabda Nabi yang mulia –shallallahu ’alaihi wa sallam- berikut yang merupakan bantahan bagi Qur’aniyyun/ Ingkarus Sunnah -yang hanya mau beramal dengan al-Qur’an dan enggan beramal dengan selain al-Qur’an-.

لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيكَتِهِ يَأْتِيهِ الْأَمْرُ مِنْ أَمْرِي مِمَّا أَمَرْتُ بِهِ أَوْ نَهَيْتُ عَنْهُ فَيَقُولُ لَا نَدْرِي مَا وَجَدْنَا فِي كِتَابِ اللَّهِ اتَّبَعْنَاهُ

Aku benar-benar mendapati salah seorang di antara kalian bertelekan di atas sofanya, datang kepadanya suatu dari urusan agamaku yang aku perintahkan atau aku larang, maka dia mengatakan, ”Aku tidak tahu; apa yang kami dapati dari Kitabullah maka kami mengikutinya.[6]

Jika mereka menyangka wajibnya umat Islam bersatu atas dasar al-Qur’an semata, maka Allah Ta’ala mewajibkan dalam al-Qur’an untuk mengambil segala sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, baik secara global maupun secara terperinci. Allah berfirman,

وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

”Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS. Al Hasyr: 7)

Dan sungguh Allah telah menyebutkan supaya mentaati Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dalam al-Qur’an sebanyak 33 tempat. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ

Ketahuilah bahwa aku diberi al-Qur’an dan semisalnya sekaligus.”[7]

Perhatikanlah perkataan Imam Syafi’i dan Imam Malik berikut ini.

Al Humaidi berkata, “Kami berada di sisi Imam Syafi’i –rahimahullah-. Lalu seorang laki-laki mendatangi beliau dan bertanya suatu masalah kepadanya.

Imam Syafi’i berkata,“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah memutuskan tentang perkara ini demikian dan demikian.“

Orang tersebut bertanya kepada Imam Syafi’i, “Bagaimana pendapat Anda?“

Beliau menjawab,”Subhanallah!! Apakah kamu melihatku berada di gereja? Apakah kamu melihatku dalam jual beli? Apakah kamu melihat di tengah-tengah tubuhku ada ikat pinggang?! Aku mengatakan padamu, ’Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam telah memutuskan perkara tersebut’ lantas kamu bertanya,”Bagaimana pendapat Anda?”

Imam Malik berkata,”Apakah pantas setiap kali datang seseorang yang lebih pandai berdebat daripada selainnya, maka kita meninggalkan apa yang diturunkan Jibril kepada Muhammad karena bantahannya?”

Imam Malik juga berkata, ”Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan para pemimpin sesudahnya telah menetapkan berbagai sunnah. Mengambilnya berarti membenarkan Kitabullah, menyempurnakan ketaatan kepada Allah, dan menguatkan agama Allah. Barangsiapa mengamalkannya maka ia akan mendapat petunjuk, barangsiapa membelanya maka ia akan ditolong, dan barangsiapa menyelisihinya maka ia telah mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman dan Allah pasti memalingkannya dari jalan yang benar.”

Betapa banyaknya para peleceh sunnah (menentang Al Qur’an dan hadits-hadits shohih) di zaman kita ini. Lebih ngerinya mereka itu bukanlah orang-orang kafir, namun mereka adalah para intelektual muslim, bahkan merupakan produk dari Universitas Islam di negeri ini.[8]

Ketiga: Berbuat bid’ah dalam agama

Pelecehan ini semakin parah, ketika seseorang menjauhi syari’at menuju perilaku bid’ah dalam agama dan menyerupai keadaan orang-orang yang suka mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan berupa:

  • Mengagungkan tokoh-tokoh tarekat dan mengangkat mereka pada derajat para Nabi, karena mereka memiliki amalan-amalan setan yang dikira sebagai hal yang luar biasa
  • Ghuluw (berlebih-lebihan) kepada orang-orang yang dianggap sebagai wali, memuji-muji mereka secara berlebih-lebihan semasa hidup mereka dan dianggap suci setelah kematian mereka
  • Berdoa kepada selain Allah, bernadzar untuk mereka, menyembelih kurban dengan menyebut nama mereka, thawaf di sekitar kubur mereka, atau membangun suatu bangunan di atasnya.

Ini semua adalah syirik yang Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam diutus untuk melenyapkan dan menghancurkannya serta menegakkan bangunan tauhid di bumi dan di hati. Lalu Allah menegakkan agama-Nya, menolong hamba-Nya, dan membela tentara-Nya yang beriman. Allah memantapkan mata hati kaum beriman untuk menghilangkan rambu-rambu kesyirikan dan berhala-berhala jahiliyyah, ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menghancurkan berhala-berhala itu dengan tangannya. Allah berfirman,

وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا

“Dan katakanlah: “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.” Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (Al Isra’: 81)

Tidak samar lagi bagi orang yang berakal yang akalnya dibimbing oleh cahaya syari’at, bahwa thawaf di sekitar kubur, beri’tikaf di sisinya, meminta pada orang yang sudah mati untuk memenuhi hajatnya dan menyembuhkan orang sakit, atau meminta Allah lewat perantaraan mereka atau kedudukan mereka, adalah termasuk perkara yang diada-adakan dalam agama (alias bid’ah, peny), dan bahwa thawaf yang sesuai syari’at hanyalah di sekitar Ka’bah, serta manfaat dan mudharat hanyalah milik Allah semata, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak dapat memberikan manfaat atau mudharat (bahaya), sebagaimana yang Allah sebutkan dalam surat al-Jin,

قُلْ إِنِّي لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلَا رَشَدًا (21) قُلْ إِنِّي لَنْ يُجِيرَنِي مِنَ اللَّهِ أَحَدٌ وَلَنْ أَجِدَ مِنْ دُونِهِ مُلْتَحَدًا (22) إِلَّا بَلَاغًا مِنَ اللَّهِ وَرِسَالَاتِهِ

Katakanlah: “Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatanpun kepadamu dan tidak (pula) suatu kemanfaatan.” Katakanlah: “Sesungguhnya aku sekali-kali tiada seorangpun dapat melindungiku dari (azab) Allah dan sekali-kali aku tiada akan memperoleh tempat berlindung selain daripada-Nya.” Akan tetapi (aku hanya) menyampaikan (peringatan) dari Allah dan risalah-Nya.” (QS. Al-Jin: 21-23) Ini Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, lalu bagaimana halnya dengan selain beliau?![9]

Inilah yang membedakan orang beriman dan selainnya. Setiap orang yang memberikan pengagungan kepada makhluk, maka sesungguhnya dia telah mengurangi keagungan Sang Pencipta dan setiap yang merendah diri pada makhluk, maka dia telah lemah dan bodoh. Ini adalah kehinaan yang sangat jelas.

Keempat:  Ghuluw (berlebih-lebihan) kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam

Di antara bentuk pelecehan –yang menyakiti Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan menyelisishi petunjuk dan dakwahnya, bahkan menyelisihi prinsip tauhid yang Allah utus beliau dengannya- adalah GHULUW (berlebih-lebihan) kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan mengangkatnya melebihi kedudukan Nabi serta meyakini bahwa beliau mengetahui ilmu ghaib, atau berdo’a kepada beliau, atau bersumpah dengan nama beliau.

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam pernah mengkhawatirkan terjadinya hal ini. Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam pernah mengatakan di saat sakit menjelang kematian beliau,

لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ

Janganlah kalian memujiku secara berlebihan sebagaimana kaum Nashrani memuji secara berlebihan terhadap Isa –putera Maryam-. Tetapi katakanlah,’Aku hamba Allah dan utusannya’.”[10]

Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam juga memperingatkan umatnya agar tidak menjadikan kuburnya sebagai perayaan dan tempat kunjungan. Beliau bersabda,

لَا تَجْعَلُوْا قَبْرِيْ عِيْدًا وَ صَلُّوْا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِيْ حَيْثُ كُنْتُمْ

Janganlah menjadikan kuburku sebagai perayaan, tetapi bershalawatlah kepadaku, karena shalawat kalian sampai kepadaku di mana pun kalian berada.”[11]

Bahkan untuk menjauhkan dari sikap berlebih-lebihan kepadanya, sampai-sampai beliau melaknat orang-orang yang menjadikan kubur-kubur para nabi sebagai tempat-tempat ibadah. Beliau bersabda,

لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

Semoga Allah melakanat kaum Yahudi dan Nashrani. Mereka telah menjadikan kubur-kubur para nabi mereka sebagai tempat ibadah.”[12] [13]

Semoga kita terhindar dari fenomena pelecehan pada Nabi di atas. Semoga Allah senantiasa memberi taufik kepada kita sekalian.

 

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel https://rumaysho.com

Diselesaikan di Wisma MTI, 28 Jumadats Tsaniyah 1428 H.



[1] HR. Bukhari dan Muslim

[2] Abu Nu’aim dalam al-Hilyah; Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis

[3] Merubah makna tanpa dalil. (-peny)

[4] Hadits ahad adalah hadits yang tidak sampai derajat mutawatir. (-peny)

[5] Kalau menolaknya berarti menolak berbagai hukum syar’i yang ada. Contohnya adalah tentang niat dalam hadits Umar adalah hadits ahad. Kalau menolak hadits ahad berarti menolak niat dalam ibadah. Sungguh, perbuatan semacam ini akan menghilangkan barbagai syari’at yang ada dalam agama ini. (-peny)

[6] HR. Abu Daud dan Tirmidzi

[7] HR. Abu Daud, dishohihkan Al Albani dalam Shohih Abu Daud

[8] Paragraf ini adalah tambahan editor. Contoh Universitas Islam ini adalah UIN Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Banjarmasin, dll.

[9] Tentu lebih-lebih lagi tidak dapat mendatangkan manfaat atau mudharat (bahaya). Renungkanlah hal ini!! (-peny)

[10] HR. Bukhari

[11] HR. Abu Daud, dishahihkan al-Albani dalam Ghayah al-Maram

[12] HR. Bukhari & Muslim

[13] Bab ini diringkas dari Huququn Nabi bainal Ijlal wal Ikhlal, hal.20-32. Bisa pula dilihat pada edisi terjemahan berjudul ‘Setetes Air Mata Cinta’, hal.18-36, penerbit Darul Haq.

(ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)

Artikel asli: https://rumaysho.com/876-fenomena-pelecehan-terhadap-nabi.html